ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN SECARA TAFSIR

 

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN SECARA TAFSIR

Mata Kuliah : Penalaran Logika Hukum

 


 

Disusun oleh :

 

Maria Regina Sulangi

(201610110311312)

 

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG

Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Gagasan ini merupakan pengembangan dari asas-asas demokrasi di mana hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia merupakan tema dasar dalam pemikiran politik ketatanegaraan.[1] Keberadaan Lembaga Mahkamah Konstitusi dalam kehidupan negara-negara modern dianggap sebagai fenomena baru dalam mengisi ancer ketatanegaraan yang sudah ada dan mapan. Bagi negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukkan Mahkamah Konstitusi menjadi sesuatu yang urgen karena ingin mengubah atau memperbaiki ancer kehidupan ketatanegaraan lebih ideal dan sempurna, khususnya dalam penyelenggaraan pengujian konstitusional (constitutional review) terhadap undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sebagai ance dasar tertinggi Negara.[2]

Hadirnya Mahkamah Konstitusi melalui amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kewenangan antara lain melakukan pengujian (judicial review) undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar cukup membanggakan, karena selama pemerintahan Orde Baru tidak ada politik ance untuk pengujian undang-undang. Pada masa itu undang-undang benar-benar tidak “tersentuh” pengujian oleh ance. Mahkamah Agung hanya dapat melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sehingga ance ada produk ance yang represif dan bersebrangan dengan demokrasi maupun HAM tidak dapat disentuh oleh ance untuk diuji substansinya.

Judicial review atau controle juridictionale adalah pengawasan kekuasaan kehakiman (judicial power) terhadap kekuasaan ancerive dan eksekutif. Brewer-Caririas memandangnya sebagai tugas yang melekat dari pengadilan untuk menjamin tindakan ance ancerive dan eksekutif sesuai dengan ance tertinggi. Tepatnya dikatakan : “….the same inherent duty of courts to ensure that each legal action conforms to a superior law”.

Di Indonesia ancer peradilan yang memiliki kewenangan untuk melakukan  judicial review adalah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu badan peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman. Sedangkan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa :

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan ancer negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia kita mengenal istilah judicial review. Judicial review sering diartikan sebagai pengujian terhadap undang-undang dasar. Judicial review awal mula lahir di Amerika Serikat sejak tahun 1803. Terjadi kasus madison vs william marbury. Hakim john marshal yang melahirkan putusan judicial review. Saat itu ia ditantang oleh madison untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang ditetapkan oleh kongres. Namun di Amerika judicial review dilakukan oleh Mahkamah Agung (Supreme court). Amerika tidak mengenal adanya lembaga Mahkamah Konstitusi. Judicial review telah diperbincangkan sejak dulu oleh para founding father Indonesia antar Supomo dan Muh Yamin. Sopomo beranggapan bahwa judicial review tidak diperlukan karena memposisikan lembaga peradilan lebih tinggi dari lembaga lain dan bertentangan dengan konsep trias politica. Namun hal tersebut dibantah oleh Muh. Yamin ia mengatakan bahwa judicial review itu diperlukan.

Peraturan perundang-undangan itu dibuat, disahkan lalu diberlakukan, bukan tidak mungkin ada beberapa kepentingan-kepentingan politik yang menyertainya. Bukan hanya itu saja, namun terkadang peraturan perundang-undangan tersebut hanya menguntungkan kepada satu atau beebrapa golongan saja, tidak untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak sedikit di Indonesia sering terjadi penyimpangan-penyimpangan peraturan yang menjadi hambatan dan factor yang memperlambat urgensi laju Pembangunan. Maka untuk menjamin, agar segala kepentingan-kepentingan suatu birokrasi tersebut dapat terkendali, harus ada pengawasan yang efektif dan efisien. Ini bertujuan untuk menyeimbangkan segala bentuk kehidupan demokrasi yang ada di Negara tersebut, pengawasan ini hendaknya menjadi suatu upaya untuk melindungi warga Negara Indonesia dari berbagai ketimpangan-ketimpangan yang dapat merusak tatanan kehidupan demokrasi di Indonesia. Selain itu pengawasan ini juga harus memiliki sikap yang tegas dan transparan, demi terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menindaklanjuti hal ini, dikenal dengan istilah Judicial Review atau uji materiil sebuah peraturan perundang-undangan dimana dalam sistem hukum di Indonesia, baru diadopsi setelah amandemen UUD 1945. Sebelumnya, tidak dikenal uji materiil sebuah peraturan perundang-udangan terhadap konstitusi. 

Dalam uji materiil undang-undang biasanya Hakim melihat petitum yang diajukan oleh pemohon, biasanya pemohon mengajukan uji materiil disertai dengan alas an-alasan yang kuat. Entah karena pasal di dalam suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, entah karena bertentang dengan sejarah Indonesia, anc juga bertentangan dengan keadaan sosiologis Indonesia sendiri. Tidak hanya bertentangan, Uji Materiil dapat dilakukan jika terdapat frasa-frasa dalam Undang-Undang yang mungkin multi tafsir atau bahkan rancu dalam pengartiannya, pemilihan frasa sangat diperhatikan terlebih penggunaannya untuk sebuah peraturan agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkannya.

Oleh sebab itu penulis akan meng analisis putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, penulis akan menganalisis undang-undang tersebut secara tafsir dengan metode-metode panafsiran.

B.                 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana Analisis Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Secara Tafsir ?

C.                TUJUAN PENULISAN

1.      Untuk mengetahui seluk beluk UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

2.      Untuk mengetahui Metode Analisis Secara Tafsir

3.      Untuk mengetahui argumentasi hokum tentang UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian


 

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam putusan Nomor 64/PUU-IX/2011 Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra tertanggal 9 September 2011 telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dalam putusan tersebut, Prof. Yusril mengajukan permohonan sebagai berikut :

1.                  Menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon pengujian undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5254) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.                  Menyatakan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234) pada frasa yang berbunyi “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan” adalah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3.                  Menyatakan Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 (Lembaran Negara 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5254) tentang Keimigrasian, pada  frasa yang berbunyi “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

4.                  Memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Dalam putusan tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Prof. Yusril yakni sebagai berikut :

§     Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

§     Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216), sepanjang frasa “setiap kali” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

§     Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216), sepanjang frasa “setiap kali”  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

§     Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) menjadi “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”;

§     Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;

·                    Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Secara Tafsir :

Jika melihat dari putusan tersebut, Prof. Yusril menggunakan metode Tafsir Kata karena jelas dalam petitum pemohon banyak menggunakan “frasa” sebagai alas an penguat permohonan.

Pasal 97 ayat (1) UU 6/2011 menyatakan, ”Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”,

Sepanjang frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Menurut Prof. Yusril, adanya frasa “setiap kali” dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu, sehingga menciptakan ketidakpastian ance yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945;

Kata “setiap kali dapat diperpanjang” menimbulkan keresahan, karena dianggap dapat disalahgunakan oleh Menteri atau pejabat terkait untuk bertindak abusive sehingga mengakibatkan pelanggaran HAM orang yang dikenai pencegahan. Hal ini dapat membuka peluang bagi pejabat atau penguasa imigrasi untuk terus-menerus setiap enam bulan memperpanjang masa pencegahan yang mengakibatkan orang-orang yang dikenai pencegahan berada dalam suasana ketidakpastian ance yang dapat mempengaruhi masa depannya. Akibat selanjutnya adalah tidak jelasnya penyelesaian suatu perkara pidana yang justru merugikan penegakan keadilan, karena keadilan yang ditunda-tunda dapat menimbulkan ketidakadilan (justice delayed is justice denied). Apalagi, dengan adanya pencegahan ke luar negeri terhadap seorang tersangka tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakbebasan bagi tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula, dengan tanpa mendapat pengurangan pidana jika pada akhirnya tersangka dijatuhi pidana oleh pengadilan seperti halnya tersangka/terdakwa yang dikenai penahanan kota sebagaimana diatur dalam KUHAP.  Pencegahan yang dapat diperpanjang berkali-kali tersebut tanpa ancer telah mencerminkan politik ance yang otoriter yang bertentangan dengan UUD 1945, asas keadilan dan persamaan di hadapan ance, serta pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bersifat universal.  Dicegah selama 6 bulan terus-menerus tanpa ada kepastian dan alas an hokum yang tepat dapat menghilangkan hak asasi seorang warga negara. Padahal menurut UUD 1945, hak untuk meninggalkan wilayah negara yang dijamin oleh konstitusi maupun norma HAM universal dapat dibatasi dalam hal-hal tertentu, sebagaimana  diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Pencegahan ke luar negeri adalah salah satu bentuk pembatasan hak konsititusional warga negara yang dapat dibenarkan menurut konstitusi sepanjang pembatasan hak tersebut ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis Pencegahan dilakukan harus melalui proses yang sah berlaku (due process of law). Atas dasar itulah, negara dapat melakukan pembatasan dengan cara mengurangi kebebasan seseorang untuk bepergian ke negara lain, antara lain dengan  dalam rangka kepentingan penyidikan suatu perkara pidana agar proses penyidikan dapat dilakukan dengan tanpa halangan.

 


 

BAB III

PENUTUP

            Judicial Review Adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma. yakni menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi, dan peraturan UU dengan UU yang lebih tinggi. Sementara Sri Soemantri berpendapat bahwa Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Dalam melakukan uji materiil, Hakim dan pemohon sama-sama menggunakan metode penafsiran, hal ini dilakukan agar dapat menghasilkan logika hokum yang kemudian menjadi alas an kuat sebagai argumentasi hokum dalam mengajukan alas an permohonan maupun menganalisis undang-undang bagi Hakim sendiri.

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Makasar: PT Alumni, hal 130

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 64/PUU-IX/2011

Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, hal 50

Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., “Beberapa Pasal dalam Satu Peraturan Saling Bertentangan, Mana yang Berlaku?”, https://www.hukumonline.com, diakses pada 9 Maret 2020

Zulkifli SKB, “Yusril: UU Imigrasi bertentangan UUD 1945”, http://www.gresnews.com, diakses pada 9 Maret 2020

 



[1]  Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, hal 50

[2]  Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Makasar: PT Alumni, hal 130