PERAN FILSAFAT HUKUM DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

 

PERAN FILSAFAT HUKUM DALAM  PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA

 


 

Oleh :

 

Dhimas Asa Gumelar – 201610110311311

Maria Regina Sulangi – 20161011311312

Safira Ramadhani – 201610110311313

 

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG



 

PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Manusia semakin berkembangnya zaman semakin mempengaruhi juga dalam hal pemikiran, memiliki sifat ingin tahu terhadap segala hal, hal yang telah diketahui oleh manusia disebut sebagai pengetahuan. Pengetahuan dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, pengetahuan agama. Rasa haus akan pengetahun ditambah dengan perkembangan zaman Hal ini berimbas pada cara orang memandanh ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sangat sakral dalam pandangan teologia, ilmu hukum adalah merupakan salah satu bagian kajian yang tak pernah putus seiring dengan kemajuan teknologi dan manusianya dalam kehidupan masyarakat sehingga pandangan-pandangan tentang ilmu hukum itu sering berbenturan dengan keadaan yang ada dimana kajiannya lebih bersifat integral dan bukan pada bagian ilmu yang tersendiri. Istilah ”pengetahuan” (knowledge) tidak sama dengan ”ilmu pengetahuan” (science). Pengetahuan seorang manusia dapat berasal dari pengalamannya atau dapat juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang memiliki obyek, metode, dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal. Perkembangan ilmu yang banyak dan maju tidak berarti semua pertanyaan dapat dijawab, oleh sebab itu pertanyaan- pertanyaan yang tidak dapat dijawab tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat.

Berbicara mengenai filsafat, maka filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan umum dan mendalam tentang hidup yang dijalani manusia. Dalam pemahaman yang demikian, filsafat ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak . Filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.

Melihat kilas balik ke belakang, Indonesia sedang dihadapkan dengan kekacauan yang cukup besar. Mahasiswa-mahasiswa turun ke jalan di beberapa titik kota-kota besar khususnya di Gedung DPR atau balai kota. Tidak hanya panjat social atau meneriakkan kebebasan berpendapat. Kali ini para mahasiswa membahas perihal beberapa produk hokum yang dikeluarkan pemerintah kurang lebih setidaknya 5 Buah produk rancangan undang-undang yang dianggap agent of change tidak sesuai dengan prinsip kepastian dan keadilan hokum. Kenapa demikian? Banyak para mahasiswa menanyakan bagaimana pola berpikir dan sistematika dalam menghasilkan produk hokum tersebut? Bahkan, salah satunya RUU Pertanahan. Berpuluh-puluh tahun menggunakan produk hokum buatan Belanda dan ketika Indonesia sudah mampu untuk mengeluarkan produk hokum sendiri sekalinya buat malah terkesan merugikan dan tidak adil bagi rakyat Indonesia. Bagaimana sih cara berpikir para legislator ini? Harusnya membuat aturan itu kan bukan hal yang main-main. Mereka harus berpikir secara filsafat dan secara radikal untuk menghasilkan produk hokum yang berkualitas.

Pembangunan atau pembentukan hokum harusnya dilandasi oleh nila-nilai kepastian, keadila, dan kefilsafatan agar menghasilkan fondasi yang kuat. Oleh sebab itu penulis memilih judul “Peran Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia” untuk mengetahui peran besar apa kefilsafatan dalam membentuk suatu peraturan.

B.        Rumusan Masalah

1.         Bagaimana hakikat dari filsafat hukum?

2.         Bagaimana rumusan keadilan dalam perspektif filsafat?

3.         Bagaimana peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia?


 

PEMBAHASAN

1.         Hakikat Filsafat Hukum

Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya; 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3) Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang ilmu filsafar, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada ini atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.

Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum.

Dalam filsafat hukum juga dibedakan berbagai wilayah bagian antara lain:

·           Ontologi Hukum : penelitian tentang hakikat hukum dan hubungan antara hukum dan moral;

·           Aksiologi Hukum : penetapan isi nilai-nilai, seperti keadilan, kepatutan, persamaan, kebebasan, dsb;

·           Ideologi Hukum : pengejawantahan wawasan menyeluruh tentang manusia dan masyarakat;

·           Epistemologi Hukum : penelitian terhadap pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” hukum dimungkinkan;

·           Teologi Hukum : menentukan makna dan tujuan dari hukum;

·           Teori ilmu dari Hukum : filsafat sebagai meta-teori tentang teori hukum dan sebagai meta-teori dari dogmatika hukum;

·           Logika Hukum : penelitian tentang kaidah-kaidah berfikir yuridik dan argumentasi yuridik. Bagian ini sering dipandang sebagai suatu bidang studi tersendiri yang telah melepaskan diri dari filsafat hukum.

Filsafat hukum merupakan ilmu pengetahuan yang berbicara tentang hakikat hukum atau keberadaan hukum. Hakikat hukum meliputi :

1.         Hukum merupakan perintah (teori imperatif)

Teori imperatif mempunyai arti mencari hakikat hukum. Keberadaan hukum di alam semesta ini merupakan perintah Tuhan dan perintah Pemerintah yang berdaulat.

Menurut Thomas Aquinas, aliran hukum alam dibagi dengan urutan sebagai berikut :

1)        Lex Aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia;

2)        Lex Devina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia);

3)        Lex Naturalis (hukum alam yaitu penjelmaan dari lex aeterna ke dalam rasio manusia);

4)        Lex Positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).

Aliran positivisme hukum Jhon Austin beranggapan bahwa hukum berisi perintah, kewajiban, kedaulatan dan sanksi. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama “analytical jurisprudence” atau teori hukum yang analitis bahwa dikenal ada 2 (dua) bentuk hukum yaitu positive law (Undang-undang) dan morality (hukum kebiasaan).

2.         Kenyataan sosial yang mendalam (teori indikatif)

Menurut Carl Von Savigny, hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Aliran sociological jurisprudence dengan tokohnya Eugen Eurlich dan Roscoe Pound dengan konsepnya bahwa “hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) baik tertulis maupun tidak tertulis”.

·           Hukum tertulis atau hukum positif

Hukum positif atau Ius Constitutum yaitu hukum yang berlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu pada suatu waktu tertentu.

·           Hukum tidak tertulis

-            Hukum kebiasaan yaitu kebiasaan yang berulang-ulang dan mengikat para pihak yang terkait

-            Hukum adat adalah adat istiadat yang telah mendapatkan pengukuhan dari penguasa adat.

-            Traktat atau treaty adalah perjanjian yang diadakan antar dua negara atau lebih dimana isinya mengikat negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

-            Doktrin adalah pendapat ahli hukum terkemuka.

-            Yurisprudensi adalah kebiasaan yang terjadi di pengadilan yang berasaskan “azas precedent” yaitu pengadilan memutus perkara mempertimbangkan putusan kasus-kasus terdahulu yang di putus (common law).

3.         Tujuan hukum (teori optatif)

·           Keadilan

Menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi :

a.         Distributive, yang didasarkan pada prestasi;

b.         Komunitatif, yang tidak didasarkan pada jasa;

c.         Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya;

d.         Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif;

e.         Legalis, yaitu keadilan yang ingin dicapai oleh undang-undang.

·           Kepastian

Hans Kelsen dengan konsepnya Rule of Law atau Penegakan Hukum. Dalam hal ini mengandung arti :

a.         Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum;

b.         Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara;

c.         Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya;

d.         Hukum itu bersifat dogmatic.

·           Kegunaan

Menurut Jeremy Bentham, sebagai pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.

2.         Rumusan Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum

Jika membicarakan tentang rumusan keadilan dalam perspektif Filsafat hukum maka perlu dilakukan perenungan yang mendalam untuk mendapatkan hakikat yang mendasar dari sebuah keadilan. Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, dimana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.

Salah satu tujuan dari hukum adalah keadilan, tanpa adanya keadilan hukum belum bisa dikatakan sebagai hukum. kenyataan yang terjadi dalam masyarakat masih banyak kerenggangan antara hukum itu sendiri  dengan yang diinginkan hal ini menjadi sebab semakin menyebabkan kerenggangan juga antara hukum dengan hakekatnya. Keadilan masih dipandang hanya sebuah kata belum merasuk ke seluruh aspek hukum. Keselarasan antara tujuan hukum yang meliputi keadilan, kepastian dan ketertiban hukum menjadi masalah penting dalam pengakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum yang dilakukan oleh  pengemban hukum tersebut harus dihadapkan  dalam sebuah pilihan yang sangat berat  pilihan antara keadilan, kepastian dan ketertiban. Pilihan yang sangat berat ini dapat berdampak  akan terjadinya ketidak seimbangan atara  tiga tujuan hukum tersebut dan juga akan menyebabkan adanya pengorbanan dari masing-masing tujuan hukum yang tidak dipilih dalam penegakan hukum, sebagai contohnya apabila penegak hukum memilih untuk mengutamakan keadilan maka tujuan hukum  kepastian dan tujuan hukum kemanfaatan akan terabaikan begitu juga sebaliknya. Menjadikan tujuan hukum tercapai dengan seimbang memang tidak semudah membalikan telapak tangan.

Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, hubungan antara keadilan dan hukum positif baru mulai abad 8 yang dilatarbelakangi oleh adanya kekacauan dalam masyarakat, tidak puasnya rakyat dengan pemerintahan aristokrasi dan penyalahgunaan dari kekuasaan Sejak waktu itu maka masalah hubungan antara keadilan dan hukum positif menguasai alam pikiran bangsa Yunani, dan pada hakekatnya semua pikiran-pikiran tentang hukum. Dalam hubungannya dengan filsafat ilmu hukum, keadilan diwujudkan melalui hukum sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak perlu dalam kehidupan bersama manusia. Tanpa hukum kehidupan manusia menjadi kacau dan akan kehilangan ke-mungkinan untuk berkembang secara manusiawi.

Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, berada dalam dunia sollen tumbuh secara filsafati dalam alam hayal manusia, namun tidak bisa diingkari bahwa semua orang mendambakan keadilan.

Berikut merupakan konsep keadilan menurut Aristoteles, Plato dan, John Rawls

Dari konsep yang diusung Plato, Plato memandang sebuah kesenjangan yang harus dilakukan pengaturan dengan sebuah undang-undang harus mewujudakan  rasa keadilan, karena menurut Plato hukum dan undang-undang bukan merupakan hanya untuk menjamin ketertiban dan menjamin stabilitas negara, namun haikat paling dasar dari sebuah undang-undang adalah sebagain pembimbing masyarakat untuk mencapai cita-cita bersama yang telah diidam- idamkan sehingga mampu menjadi warga negara yang baik dan dapat mewujudkan negara yang ideal. Jadi hukum dan undang-undang saling berkesinambungan dengan kehidupan moral dari setiap warga masyarakat.

Konsep yang diusung Aristoteles tentang keadilan dapat penulis simpulkan bahwa Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif  dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memandang bahwa setiap orang harus mendapatkan apa yang menjadi hak orang tersebut, jadi sifatnya proporsional atau sesuai porsinya. Di sini penilaian adil adalah jika setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya sesuai dengan porsinya. Sebagai contoh keadilan  distributif yaitu berkenaan dengan penentuan hak dan pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada warganya.

Lain halnya keadilan komutatif yang membahas mengenai masalah penentuan hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi non fisik. Sebagai contoh keadilan distributif merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga negara dalam negaranya. Konstruksi keadilan yang demikian ini membebankan kewajiban bagi pembentuk Undang-undang untuk memperhatikannya dalam merumuskan konsep keadilan kedalam suatu Undang-undang.

Keadilan menurut John Rawls Pada Abad Modern salah seorang yang dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan konsep keadilan adalah John Borden Rawls. Rawls, memiliki pendapat bahwa “keadilan hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan dasar (basic liberties) dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya distur sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.” John Rawls menjabarkan sebuah ide dalam bukunya A Theory of Justice atau teori keadilan yang memiliki tujuan agar bisa menjadi pilihan alternatif bagi doktrin-doktrin yang mendominasi tradisi filsafat terdahulunya, dengan cara memunculkan konsep keadilan yang mengeneralisasikan dan mengangkat teori kontrak sosial yang diungkap seperti Locke, Rousseau dan Kant ke dalam tingkat yang lebih tinggi. Oleh Rawls cara pandang keadilan ini disebut keadilan sebagai fairness.

Berbicara dalam konteks filsafat ilmu hukum, dalam semua aliran manapun, cara berfikir apa pun yang dipakai, semua pemikiran tentang hukum secara sistematis (berfilsafat tentang hukum), berlandaskan di satu pihak pada filsafat (pandangan manusia tentang tempatnya di alam semesta) dan di lain pihak pada teori politik (pandangan manusia tentang bentuk masyarakat yang terbaik). Pikiran tentang tujuan hukum berdasar pada “konsepsi” (pandangan) manusia sebagai manusia yang berfikir (thinking individual) dan sebagai makhluk berpolitik (political being). Dua aspek ini yang harus diperhatikan dalam menjawab pertanyaan tentang filsafat ilmu hukum. Memperhatikan semua pembahasan dalam tulisan ini, bahwa keadilan dalam filsafat ilmu hukum itu tetap akan ada sepanjang usia pelaksanaan penegakan hukum dan akan dipegang teguh karena keadilan merupakan cita dan mengimbangi unsur lainnya yaitu keman-faatan dan kepastian hukum. Pemahaman akan filsafat ilmu hukum benar akan dapat men-jelaskan nilai dasar hukum secara filosofis dan sudah seharusnya semakin diperkuat oleh para para pihak yang kompeten sehingga dapat membangun hukum yang sebenarnya.

3.         Peran Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia

Seperti yang dikatakan kusumaatmadja, jika hokum sendiri merupakan sebuah alat yang bertugas untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. Yang mana sifat hokum adalah mengatur dan mengikat. Mengatur memiliki artian jika hokum sendiri hakikatnya adalah memelihara dan menjaga apa yang telah ada dan mengatasi pelanggaran yang muncul dengan hokum itu sendiri. Banyak orang yang memiliki pemikiran kolot yang mengatakan jika hokum yang sudah berada diatas tidak dapat dirubah, hal ini salah besar. Hokum dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Hokum bersifat dinamis, bergerak dan berkembang seiring waktu. Dalam merumuskan hokum-hukum itu memerlukan pemikiran yang filsafat. Tidak banyak diketahui, jika Pancasila kita yang tercantum dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 merupakan produk filsafat hukum anak bangsa Indonesia, Pancasila diciptakan dari factor banyaknya suku, agama, dan ras di Indonesia. Terbentuknya filsafat hokum ini merupakan wujud untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau nanti dalam praktik tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi asimiliasi atau akulturasi, terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda).

Filsafat hokum dalam penerapan dalam kehidupan bernegara mempunyai bentuk yang beragam yang mana perbedaan itu bergantung pada budaya dan kehidupan bangsa masing-masing. Pancasila sebagai produk dari filsafat hokum Indonesia merupakan sebuah keuntungan tersendiri, karena di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Ideologi Pancasila adalah pedoman hidup bagi masyarakat Indonesia yang mana banyak orang mengatakan jika Pancasila sendiri adalah norma dasar atau nilai moral yang sudah hidup dan mandarah daging di bangsa Indonesia. Ketika Pancasila dijadikan sebagai Idoelogi maka mau tidak mau, suka atau tidak suka. Pancasila menjadi nilai penting sebagai sumber keadilan itu sendiri karena suatu produk hokum jika tidak ber peri – kepancasila – an maka akan dianggap kurang sempurna.

Pernah mengenal peribahasa “Tidak ada asap kalua tidak ada api” yang memiliki arti yakni tidak mungkin suatu akibat muncul jika tidak ada penyebab yang mengawali. Demo yang terjadi akhir-akhir ini yakni Demo Mahasiswa di kota-kota besar yang mengkritisi beberapa produk hokum yang dikeluarkan dan akan disahkan oleh Legislator dalam sidang berikutnya. Penyebab dari demo yang terjadi adalah produk hokum yang dikeluarkan menimbulkan kontroversi. Maksudnya? Ya, produk hokum yang dikeluarkan oleh legislator kita memiliki banyak pasal yang ngawur atau bahkan mencederai hak masyarakat. Padahal, seharusnya jika dilihat dari Teori Tujuan Hukum, peraturan yang dibuat harus dapat menciptakan kemanfaatan, kepastian, dan keadilan hokum. Tapi, jika menimbulkan kontroversi dan mencederai masyarakat maka sudah dipastikan jika produk hokum itu tidak dapat menghasilkan tujuan hokum. Menurut kami penulis, seorang filsuf memiliki pemikiran luas, mendalam, dan kritis. Dan filsafat sendiri adalah sebuah kebenaran yang menjawab pertanyaan jika rasio & logika kurang menjelaskan. Untuk menjadi seorang filsuf kita harus dituntut untuk berfikir secara kefilsafatan yakni berpikir secara radikal, universal, konseptual, koheren & konsisten, sistematik, komprehensif, dan bebas.

Dalam konteks negara bentukannya Plato bahwa pemimpin haruslah seorang filsuf, mengapa harus seorang filsuf karena filsuf memiliki jiwa untuk mencintai kebenaran atau kebijaksaan. Jika pribadi itu sudah mencintai kebenaran pasti akan diikuti oleh sifat-sifat lain seperti Jujur, amanah, tanggung jawab, dan lain-lain. Seorang yang duduk pada kekuasaan tidak boleh hanya manusia biasa, haruslah pribadi yang memiliki karakter kuat, tahan godaan dan bisa memimpin.

Jika legislator seorang filsuf, pastilah mereka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tadi menerapkan cara berfikir kefilsafatan. Jika mereka menerapkan cara berpikir pasti akan menghasilkan produk hokum yang berkualitas karena akan berfikir secara kritis dari semua pihak dan bersifat luas. Dan pasti tidak akan mengeluarkan produk hokum yang mencederai masyarakat.

Penejelasan diatas mengatakan jika dalam membuat produk hokum harus benar-benar berfikir secara filsafat hukum. Mengapa? Karena, dalam berfikir secara filsafat kita akan berfikir hingga ke akar, memikirkan semua orang semua pihak yang menjadi subyek hokum dalam peraturan tersebut. Yang mana dapat dikatakan jika melihat analisis diatas, secara sistematis maka filsafat hokum hadir sebagai fondasi dasar berfikir tentang hokum, maupun aturan-aturan hokum yang dibuat oleh legislator. Filsafat mengajak untuk menganalisis koherensi, korespondensi, sinergitas aturan dalam semua lini,  dan sampai fungsi hokum yang diciptakan berdasarkan Pancasila yakni ideologi dan produk filsafat hokum sendiri. Filsafat hukum memfokuskan pada segi filosofisnya hukum yang berorientasi pada masalah-masalah fungsi dan filsafat hukum itu sendiri yaitu melakukan penertiban hukum, penyelesaian pertikaian, pertahankan dan memelihara tata tertib, mengadakan perubahan, pengaturan tata tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum abstrak dan konkrit. Pemikiran filsafat hukum berdampak positif sebab melakukan analisis yang tidak dangkal tetapi mendalam dari setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat atau perkembangan ilmu hukum itu sendiri secara teoritis, cakrawalanya berkembang luas dan komprehensive. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik hukum, sebab politik hukum  lebih praktis, fungsional dengan cara menguraikan pemikiran teleologis  konstruktif yang dilakukan di dalam hubungannya dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum yang merupakan kaidah abstrak yang berlaku umum,  sedangkan penemuan hukum merupakan penentuan kaidah konkrit yang berlaku  secara khusus.

Filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dengan berlakunya tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP XX/MPRS tahun 1966 sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Mengapa dengan filsafat hokum seakan-akan kita menjadi berubah-ubah dan pinplan? Pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya, hal ini telah sesuai dengan bunyi kalimat kuncidalam Penjelasan UUD 1945. Filsafat hukum relevan untuk membangun kondisi hukum yang  sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Jadi hidup itu dinamis, begitupun juga dengan hokum harus berjalan dinamis sesuai dengan keperluan dan perkembangan jaman. Jika peraturan sudah kadaluarsa kita harus menggantinya dengan hokum yang baru yang sesuai, dalam mengganti itu kita memerlukan filsafat hokum untuk mengerti factor internal dan eksternal seperti apa untuk menciptakan produk hokum yang relevan.

Filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Perananan filsafat dalam mencegah keterpurukan hukum adalah dengan menciptakan penegak hukum yang professional. Mengapa? Karena dengan diciptakannya penegak hukum yang yang professional maka akan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hukum dalam hidup bersama, menumbuhkan ketaatan pada hukum, menemukan ruhnya hukum, menghidupkan hukum dalam masyarakat dan akan memacu penemuan hukum baru.

Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk menjaga dan memelihara dalam artian hokum itu mengayomi dari dalam dan luar, maka perubahan, pembaharuan atau pembangunan hukum Indonesia mau tidak mau harus melalui proses filsafat hukum yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hokum baik yang masih rencana, opini atau mungkin draft peraturan yang sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung beraneka ragam (dilihat dari factor kemajemukan masyarakat Indonesia), yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai Moral maupun sosial budaya yang akan tumbuh, masih tumbuh, atau bahkan sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebelum adanya peraturan hokum nasional. Yang terakhir agar supaya keterpurukan “ kesalahan” dalam mengadili dapat ditekan seminimal mungkin. maka dalam mengkaji sebuah kasus atau dalam mengkaji peraturan baru harus berusaha mencari atau mengungkap hakikat dari hukum tersebut dan juga harus menganalisis konsep-konsep fundamental dalam hukum yaitu keadilan, kesamaan, kepastian dan tujuan hukum itu sendiri. Perlu juga di analisis dari factor-faktor internal dari berbagai masyarakat yang majemuk dan ekternal. Filsafat hendaknya memberikan keyakinan atau kepercayaan kepada kita untuk menompang dunia baru yang dibalut dalam hokum dan aturan-aturan yang baru yang membuat kita berharap. Dalam hadirnya peraturan-peraturan baru itu maka mampu, mencetak manusia-manusia yang menjadikan para manusia rasis, yang mengkotak-kotakan suku agama dan ras, mampu melebur menjadi satu dan mengabdi pada hak asasi atas semua manusia.


 

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan, Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum ke arah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki, filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia.

Antara filsafat hukum dan pembangunan  hukum nasional bagai dua sisi mata uang yang berbeda. Oleh karena filsafat hukum sebagai suatu disiplin keilmuan, sementara pembangunan hukum merupakan suatu kebijaksanaan yang bersifat nasional dalam bentuk pembangunan di bidang hukum, namun memiliki titik temu yang sama pada objek pembahasannya yaitu hukum. Pembangunan hukum nasional merupakan keniscayaan yang mesti diterima oleh bangsa Indonesia, karena kondisinya sebagai negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan pluralitas sosial yang kompleks.

B.      Saran

Peran Filsafat Hukum dalam Pembenteukan Hukum di Indonesia. Melihat kilas balik kebelakang, yang berwenang atau memiliki kewenangan untuk membuat sebuah peraturan adalah Lembaga Legislatif. Seorang legislator sebaiknya selalu belajar mengkaji lebih jauh dan berfikir secara radikal mengenai pembentukan hokum yang ada. Pengetahuan-pengetahuan tentang filsafat wajib digunakan dan di praktikan terutama bila membuat sebuah produk hokum. Tidak hanya legislatif, Lembaga lain seperti eksekutif dan yudikatif harus menguasai dan mempraktikan filsafat hokum. Sebab mereka adalah 3 pilar penggerak pemerintahan. Pemahaman filsafat harus sering-sering disosialisasikan agar nantinya mampu memberikan produk hokum yang epic dan sinergis diberbagai lini. Perbanyak diskusi, pembahasan ulang, dan bahkan menghadirkan seorang filsuf handal seantero negeri adalah berbagai cara untuk menggapai pemikiran filsafat dalam membentuk hokum di negeri ini.


 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

-            Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 262.

-            Bahder Johan Nsution, Hukum dan Keadilan, Bandung: Mandar Maju, 2015, hlm. 174.

 

Jurnal

-            Igne Dwisvimiar, Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, Jurnal Dinamika HukumVol. 11 No. 3 September 2011, hlm 530.

-           

Web

-            Huda Lukoni, SHI.SH, Filsafat Hukum Dan Peranannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, www.badilag.net, diakses pada 25 Desember 2019

-            Moch Buchori, Filsafat Hukum dan Perannya Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, https://www.kompasiana.com, diakses pada 25 Desember 2019

-            Reportase TV, Thomas Aquinos : Aliran Hukum Alam Dalam Filsafat Hukum, Irasional dan Rasional, www.reportase.tv, diakses pada 25 Desember 2019

 

0 komentar:

Posting Komentar